Ah, jika aku terkenang akan senyumnya ketika ia melihat ku, aku jadi merasa istimewa. Jika terkenang akan canda tawanya padaku, keisengannya yang membuat ku seperti anak kecil saja, cara berjalannya, punggungnya yang tegap itu, tutur katanya, dan matanya yang memesona itu, membuat ku jadi lupa diri. Mungkin ia sendiri tak menyadari betapa istimewanya dia. Namun, yang terpenting bagiku adalah kepeduliannya padaku ketika aku berada dalam kesulitan. Dia selalu menyemangatiku. Memberi ku dorongan untuk bangkit dari keterpurukan. Aku mendapatkan energi positif darinya. Sejak saat itu aku jadi tertarik pada sebuah motivasi. Dan aku bersyukur kepada Sang Pencipta karena telah mempertemukanku dengannya.
Namun, keadaan berubah ketika kursus kami bubar. Aku tak sering lagi bertemu dengannya sehingga komunikasi kami jadi berkurang. Sesekali aku melihatnya dari kejauhan. Ku dapati diriku tengah memandangnya. Dalam sekali. Tak berkedip sedikit pun. Hingga aku tersadar aku ketinggalan bis. Yah, terpaksa nunggu lagi.
Aku terus berpikir, bagaimana caranya bisa dekat dengannya seperti dulu lagi. Namun, apa daya ayam kaki berkaki dua, aku tak punya keberanian untuk mewujudkan itu. Hah, rasanya aku kehilangan motivator terbaikku.
Aku mulai merasa hidupku menjadi hampa. Semangatku mulai pudar. Aku jadi khawatir pada diriku. Dan tak banyak yang bisa ku lakukan saat itu.
Tiba-tiba saja aku berniat untuk menghindarinya. Menjaga jarak dengannya. Soalnya dia sedang mengendarai sepeda motor. Kalau ketabrak kan bahaya. Ketika itu ku lihat dia sedang memboncengi seorang wanita yang ku kenal. Terlihat akrab bagiku. Rasanya tak ada lagi tempat bagiku di sana. Karena tak mungkin aku duduk di rodanya. Ku palingkan wajahku darinya. Saat itu juga ku rasakan bathinku bergejolak bak api yang membara. Ingin marah. Hatiku serasa dicabik-cabik. Apa sebenarnya yang terjadi padaku? Ntah kenapa sejak saat itu aku mulai membenci wanita itu. Padahal aku lumayan berteman baik dengannya.
Ku kira ini akan berlalu dengan cepat. Tapi, aku malah mendekati mereka. Ketika itu aku menemani temanku ke sebuah toko karena ada suatu keperluan. Aku bertemu mereka di sana. Tiba-tiba saja mulutku seperti dikunci. Tak bisa bicara. Lalu kuputuskan untuk tidak menyapanya. Pura-pura tak lihat saja. Kubiarkan temanku yang menyapa mereka. Itulah saat-saat yang menyiksa bagiku.
Keadaanku semakin parah. Aku jadi gamang bertemu dengan pria yang ku kagumi itu. Aku lebih sering menghindar darinya. Kalau bertemu pun aku jadi ragu-ragu untuk menyapanya. Lama-kelamaan aku jadi pendiam. Mm... mungkin itu pertanda aku akan kaya. Kenapa begitu? Karena diam itu emas. Hah, ingin rasanya ku ulangi waktu seakan-akan ku sesali perkenalan itu.
Ketika aku mulai terbiasa dengan keadaan ini, aku medapat sebuah kejutan. Tiba-tiba saja dia muncul di hidupku dan menanyakan kabarku saat ini. Membuatku bagai disambar petir. Aku jadi salah tingkah. Jantungku serasa bercopotan ke sana kemari. Oh Tuhan, belum pernah aku sebahagia ini.
Ternyata waktu itu aku salah mengira. Wanita yang bersamanya ketika itu hanya kebetulan searah pulang dengan rumahnya. Karena dia bawa motor jadi sekalian saja pulang dengannya.
Aku jadi curiga pada diriku. Apa aku hanya sekedar mengaguminya saja? Atau justru lebih dari itu? Apakah aku terlalu berlebihan?
Kemudian ku temukan sesuatu yang luar biasa. Hanya dengan mencintai-Nya lah kita tenang. Dan Cinta abadi itu hanya milik Sang Pencipta. Cinta-Nya lah yang membuat kita hidup.
Aku sadar, tak ada yang bisa ku lakukan saat ini. Aku hanya bisa menunggu. Lalu ku putuskan untuk menjadi 'pengagum rahasianya' saja. Dan entah sampai kapan, aku tak tahu. Yang pastinya selama aku merahasiakan hal itu darinya. Ah, mungkin dia tak kan tahu betapa aku menaruh hati padanya. Biarlah waktu yang akan menjawab. Bagiku ini cukup. Aku akan menjaga perasaan ini. Dan aku akan bahagia jika ia pun bahagia. Meski harus melihatnya hidup dengan wanita pilihannya. Aku mencintainya karena.. cintaku... kepada-Nya.
kupersembahkan kepada "dia" yang menginspirasiku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar